Cabai Digital Farming Meledak di Maluku: Produksi Naik 34%

Cabai Digital Farming Meledak di Maluku: Produksi Naik 34%

Ambon, Pelita Maluku — Maluku sedang berubah. Dari tanah yang dulu bergantung pada cuaca dan nasib, kini tumbuh generasi petani baru yang bekerja dengan data, sensor, dan kecerdasan digital.

Dan perubahan itu digerakkan oleh satu hal: visi Gubernur Hendrik Lewerissa untuk memodernisasi pertanian dari akar.

Bukti paling segar datang dari Balai Benih Induk (BBI) Hortikultura Dusun Telaga Kodok, Kecamatan Leihitu, tempat digelarnya Panen Perdana Cabai Digital Farming dan Konvensional, Rabu (12/11/2025).

Panen ini bukan sekadar seremoni, tapi pembuktian bahwa gerakan tanam serempak cabai yang dicanangkan Lewerissa pada 13 Agustus 2025 benar-benar bekerja di lapangan.

Selama ini petani Maluku dikenal tangguh, tapi masih terjebak dalam cara lama. Kini, lewat Digital Farming, mereka mulai bekerja dengan sensor, aplikasi, dan analisis data.

Bukan menebak-nebak kapan menanam dan menyiram, tapi mengetahui dengan pasti kapan tanah butuh air dan kapan tanaman lapar pupuk.

Kepala Dinas Pertanian Maluku, Ilham Tauda, menyebut panen kali ini sebagai tonggak sejarah.

“Ini bukan panen biasa, tapi panen dari perubahan cara berpikir. Gubernur tidak ingin petani hanya bekerja keras, tapi juga bekerja cerdas,” ujar Ilham.

Menurutnya, gerakan ini akan diperluas ke Tual, Masohi, dan kabupaten penyangga lainnya, agar lebih banyak petani menikmati manfaat pertanian digital.

Ketua Komunitas Smart Farming Maluku, Rasyid, membawa kabar menggembirakan.

Dari lahan 0,4 hektar, sistem digital farming menghasilkan 2,1 ton cabai (22–25 kali panen), naik 34 persen dari sistem konvensional yang hanya 1,6 ton.

Untuk bawang merah, lonjakannya bahkan lebih drastis  51 persen, dari 1,4 ton menjadi 3,2 ton.

 “Digital farming membuat kami mengenal tanaman kami sendiri. Kami tahu kapan ia butuh air, kapan ia stres, dan kapan waktunya panen. Hasilnya nyata,” ucap Rasyid, dengan senyum lebar penuh rasa percaya diri.

Panen ini bukan hanya soal produktivitas, tapi juga soal stabilitas harga dan daya beli rakyat.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku, Mohamad Latif, menegaskan bahwa gerakan ini punya dampak langsung ke ekonomi daerah.

“Bulan Oktober lalu, inflasi volatile food Maluku tembus 5,12 persen. Cabai rawit sempat menyentuh Rp100 ribu per kilo. Panen hari ini menambah pasokan dan menurunkan tekanan harga,” ungkap Latif.

Ia menegaskan, Digital Farming adalah strategi ekonomi cerdas.

“Ini bukan proyek, tapi cara baru membangun ketahanan pangan. Teknologi, petani, dan pasar harus bergerak serempak,” tambahnya.

Keberhasilan ini tak datang tiba-tiba. Di baliknya ada arah yang tegas dari Gubernur Hendrik Lewerissa: Maluku tidak boleh ketinggalan dalam revolusi pertanian.

Lewerissa menolak pola pembangunan yang hanya fokus pada acara dan laporan. Ia mendorong sistem berbasis bukti, hasil, dan keberlanjutan.

 “Pertanian adalah tulang punggung ekonomi rakyat. Kalau kita ubah cara bertani, kita ubah cara hidup. Ini bukan eksperimen, ini masa depan Maluku,” ujar Lewerissa dalam salah satu arahannya.


                           ( PELITA MALUKU -AIS)

Sumber : https://pelitamaluku.com/cabai-digital-farming-meledak-di-maluku-produksi-naik-34-detail-460414