Ambon, Pelita Maluku – Penetapan negeri adat di Maluku hingga kini mandek, meski kerangka hukum pengakuan desa adat telah ditegaskan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Temuan terbaru mengungkap bahwa persoalannya bukan teknis administratif, melainkan kepentingan politik dan ekonomi yang mengunci alur pengakuan negeri adat.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Majelis Latupati Provinsi Maluku, Decky Tanasale, dalam Konsolidasi dan Diskusi Publik Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, Selasa (02/12/2025)
Ia menegaskan bahwa pengakuan negeri adat sengaja tidak dijalankan karena keberadaan negeri adat dianggap dapat mengurangi kendali negara atas wilayah, kekuasaan, dan anggaran.
“Kalau negeri adat ditetapkan, kekuasaan administratif berkurang. Inilah akar masalahnya. Ini bukan soal prosedur, tapi soal kekuatan politik yang takut kehilangan kendali,” tegas Tanasale.
Menurutnya, status negeri adat yang "didesakan" menjadi desa membuka ruang perebutan kekuasaan dan potensi konflik, terutama terkait pemilihan kepala desa, raja, dan akses anggaran desa. Kondisi ini telah terbukti memicu bentrok masyarakat seperti yang terjadi di Seram Bagian Barat (SBB).
“Bentrok di SBB bukan spontan. Itu produk dari sistem yang sengaja dibiarkan bertabrakan: raja sebagai pemimpin adat, dan kepala desa sebagai pemimpin administratif,” katanya.
Tanasale menyebut kepentingan ekonomi semakin memperparah situasi. Pengelolaan tanah adat, potensi sumber daya, hingga alokasi dana desa menjadi tarik-menarik kepentingan antar elite sehingga pengakuan hukum negeri adat tidak pernah tuntas.
Ia menegaskan, jika pemerintah daerah dan legislatif tidak memiliki keberanian politik untuk mengubah keadaan, konflik berbasis identitas dan wilayah adat dikhawatirkan akan meluas ke daerah lainnya.
“Pengakuan negeri adat bukan sebatas regulasi. Ini identitas masyarakat Maluku. Kalau dianggap kecil, akan menjadi bara besar yang memecah rakyat,” tutupnya.
REDAKSI PELITA MALUKU - AIS