
Dr. Hengky Herson Hetharia, M.Th: Dari Mimbar ke Kampus, Menyatukan Iman dan Intelektualitas
"Iman tanpa nalar adalah kegelapan, dan nalar tanpa iman adalah kesombongan.”
Oleh Redaksi Pelita Maluku
Ambon – Dalam dinamika Gereja Protestan Maluku (GPM) yang tengah bersiap menyongsong Sidang Sinode ke-39, satu nama mencuat di ruang percakapan para pelayan dan umat: Dr. Hengky Herson Hetharia, M.Th, atau yang lebih akrab disapa Dr. Sonny.
Ia bukan sosok yang baru di mata publik gereja. Dikenal tenang, reflektif, dan visioner, Dr. Sonny telah menapaki dua dunia yang jarang disatukan dengan selaras — mimbar gereja dan ruang akademik. Dari keduanya, ia membangun jembatan antara iman dan intelektualitas, dua kekuatan yang seharusnya tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan.
Sebagai Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) periode 2021–2025, Dr. Hetharia menghadirkan corak kepemimpinan yang menyejukkan dan terukur. Ia dilantik pada 18 Oktober 2021, menggantikan Dr. Jafet Damamain, setelah terpilih melalui proses yang berlangsung pada 4 Oktober 2021.
Namun jauh sebelum itu, ia dikenal sebagai pendeta yang membumikan kasih Tuhan dalam kerja nyata. Bagi Dr. Sonny, pelayanan tidak berhenti pada altar gereja, tetapi harus menjelma menjadi gerakan sosial dan pendidikan yang memerdekakan manusia.
Ia pernah berkata dalam satu kesempatan akademik,
“Iman tanpa nalar adalah kegelapan, dan nalar tanpa iman adalah kesombongan.”
Kata-kata ini mencerminkan filosofi kepemimpinannya — bahwa gereja harus berpikir, dan kampus harus beriman.
Figur yang Menyatukan dan Mendidik
Dr. Hetharia menampilkan wajah gereja yang inklusif dan terbuka terhadap perubahan zaman. Di bawah kepemimpinannya, UKIM tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga pribadi yang tangguh secara moral dan sosial. Ia membentuk mahasiswa agar tidak hanya cerdas berpikir, tetapi juga peka terhadap penderitaan sesama.
Menjelang Sidang Sinode ke-39 GPM, banyak pihak menilai Dr. Hetharia sebagai figur potensial yang mampu memimpin GPM ke arah baru — gereja yang modern tanpa kehilangan akar, cerdas tanpa kehilangan spiritualitas, dan terbuka tanpa kehilangan arah teologis.
Pandangan Redaksional: Layakkah Ia Memimpin Sinode GPM?
Dalam kacamata redaksi, Dr. Hengky Herson Hetharia, M.Th. adalah salah satu figur yang layak dipertimbangkan untuk memimpin GPM. Tiga hal menjadi alasannya:
1. Kapasitas Teologis dan Akademis
Ia memiliki sintesis antara iman dan ilmu. Kepemimpinannya di UKIM menunjukkan kemampuan mengelola institusi besar dengan pendekatan spiritual dan manajerial yang seimbang — kualitas penting untuk memimpin sinode gereja dengan kompleksitas seperti GPM.
2. Karakter dan Integritas
Ia dikenal tidak reaktif, tidak pragmatis, dan tidak mudah digiring arus kepentingan. Keteguhannya menjaga prinsip dan netralitas menjadi modal moral yang langka di tengah derasnya tarik-menarik politik gereja.
3. Visi Gereja yang Kontekstual dan Inklusif
Ia menegaskan pentingnya gereja yang berpihak pada rakyat kecil, memperkuat pendidikan, serta menjadi mitra aktif dalam pembangunan. Pandangannya menjembatani generasi tua dan muda dalam ruang pelayanan yang sama-sama relevan dan manusiawi.
Dengan tiga pijakan itu, redaksi melihat Dr. Hetharia bukan hanya layak, tetapi pantas menjadi simbol kepemimpinan gereja yang baru — pemimpin yang memadukan kelembutan iman dan ketegasan visi.
Gereja yang Hidup, Misioner, dan Membumi
Jika diberi mandat untuk menahkodai GPM, Dr. Hetharia diyakini akan menuntun gereja ke arah yang lebih kontekstual dan dinamis. Ia menggagas gereja yang tidak hanya sibuk dalam ritual, tetapi juga aktif dalam perubahan sosial.
Baginya, pelayanan masa kini harus menjawab dua tantangan besar: digitalisasi dan dehumanisasi. Gereja, kata dia, harus hadir di ruang digital, di kampus, di pasar, bahkan di pesisir — tempat di mana kasih Allah harus dirasakan nyata.
Sebagai akademisi, ia juga mendorong gereja menjadi pusat riset sosial dan teologis yang peka terhadap isu-isu kemiskinan, lingkungan, dan perdamaian. Gereja tidak boleh diam ketika masyarakat terluka; gereja harus berpikir, menulis, dan bertindak.
Kembali ke Gereja yang Berakar di Negeri
Bagi Dr. Hetharia, GPM harus kembali menjadi gereja yang berakar pada rakyat — gereja yang mengenal bau tanah dan napas laut. Ia sering mengingatkan bahwa gereja tidak boleh terjebak dalam kemegahan gedung dan seremoni. Gereja sejati hadir di desa, di ladang, di ruang kelas, dan di jantung masyarakat.
Penutup: Harapan dari Ambon untuk Gereja
Dalam sosok Dr. Hengky Herson Hetharia, gereja melihat kombinasi langka antara pemikiran yang tajam dan hati yang lembut. Ia bukan hanya mengajarkan kasih, tetapi menghidupkannya melalui pendidikan, refleksi, dan tindakan.
Jika Sinode GPM ke-39 menjadi ruang lahirnya arah baru bagi gereja, maka nama Dr. Hetharia layak menjadi bagian dari percakapan itu — bukan sekadar karena jabatannya, tetapi karena ia telah lebih dulu melayani dengan pikir, hati, dan karya. (***)
Belum Ada Komentar