Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat Desak Negara Sahkan Regulasi Perlindungan Adat
Ambon, Pelita Maluku – Koalisi Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat wilayah Maluku menggelar Konsolidasi dan Diskusi Publik, terkait percepatan pembahasan RUU Masyarakat Adat untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, selasa (2/12/2025) di Lantai VI Kantor Gubernur Maluku
Forum ini menghadirkan perwakilan masyarakat adat, akademisi, organisasi masyarakat sipil, anggota DPRD/DPD RI, dan berbagai pemangku kepentingan.
Dalam forum tersebut Nuha Matoke, Perempuan asal Suku Nuaulu mengemukakan bahwa meski negara telah mengakui keberadaan masyarakat adat sejak 1945, praktiknya masyarakat adat masih terpinggirkan, kehilangan hak atas tanah, dan tidak mendapatkan ruang menentukan masa depan mereka.
Ia menilai praktik industri ekstraktif dan pengalihan fungsi kawasan hutan telah memicu krisis ekologis yang berdampak langsung pada masyarakat adat.
“Perampasan lahan membuat ruang hidup semakin sempit dan komunitas adat tergusur dari identitas kebudayaannya,” ujarnya.
Sementara itu Sekretaris Majelis Latupatti Provinsi Maluk, Adat Provinsi Maluku, Decky Tanasale menegaskan bahwa masyarakat adat di Maluku memiliki struktur pemerintahan adat dan sistem penyelesaian hukum sendiri. Namun, pengakuan administratif masih menjadi kendala akibat minimnya informasi, proses registrasi yang berbelit, dan kurangnya dukungan pemerintah daerah.
Disamping itu, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat wilayah Maluku, Apriska T. Henan, menyoroti persoalan ketimpangan gender dalam struktur adat.
Menurutnya, sistem adat yang maskulin membuat perempuan kerap tersisih dari pengambilan keputusan, termasuk dalam isu krusial seperti sanitasi dan kesehatan reproduksi.
“Bahkan kasus kekerasan seksual banyak diselesaikan melalui denda adat tanpa mengutamakan hak korban,” tegasnya.
Lusi Pelouw dari Jaringan Masyarakat Sipil Gerakan Bersama Perempuan Maluku menambahkan bahwa praktik penyelesaian kekerasan seksual melalui jalur adat berlangsung secara tertutup bertahun-tahun dan membuat perempuan tidak terlindungi secara hukum.
Di sisi lain, masyarakat adat tetap menjadi benteng penjaga lingkungan.
Elsa dari Warisan Pemuda Adat Seram Barat menegaskan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan hutan dan laut adalah praktik perlindungan alam yang terbukti menjaga ekosistem. Namun, berbagai kasus mengancam keberlanjutan masyarakat adat, termasuk tambang di Pulau Romang dan berbagai proyek industri lainnya.
Ketua Gerakan Pembangunan Bumi MBD, Helmy Natro , mengkritik minimnya pemberitaan media mengenai perspektif masyarakat adat.
Menurutnya, isu masyarakat adat di Maluku sering dikonsumsi dari sudut pandang masyarakat urban, bukan dari realitas komunitas adat sebagai warga negara yang berhak atas keadilan pembangunan.
Konsolidasi dan Diskusi Publik ini juga bertepatan dengan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, sebagai momentum menegaskan peran perempuan adat dalam advokasi regulasi.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah kewajiban konstitusi karena regulasi ini akan memperkuat pengakuan, posisi, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
REDAKSI PELITA MALUKU - AIS









Belum Ada Komentar