
Gubernur Maluku di Forum REL 2025: Kaya Laut, Miskin Kewenangan
Jakarta, Pelita Maluku – Gubernur Maluku Hendrik Lewerissa memanfaatkan Forum Economic Leadership for Regional Government Leaders (REL) Angkatan IX Tahun 2025 di Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (15/9/2025), untuk menyuarakan ketidakadilan ekonomi yang dialami daerahnya.
Di hadapan sebelas gubernur dari berbagai provinsi, Lewerissa menegaskan bahwa Maluku, provinsi dengan 92,6 persen wilayah laut dan potensi perikanan melimpah, justru terjebak dalam fiskal lemah dan ketergantungan pada transfer pusat.
“Kalau ada kebijakan pusat terkait TKD, daerah seperti kami bisa meriang, demam bahkan stroke,” ujarnya, membuat forum seketika hening.
Menurutnya, upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan investasi kerap terbentur kebijakan pusat. Di sektor perikanan, kewenangan provinsi hanya sampai kapal berukuran 30 GT, selebihnya dikuasai kementerian. Begitu pula di sektor pertambangan, hampir seluruh izin ditarik ke pusat.
“Pendapatan negara bukan pajak dari perikanan semuanya ditarik pusat. Jadi bagaimana kami bisa menggenjot PAD? Tangan kami diikat,” tegasnya.
Ironi semakin terasa karena Maluku menyumbang 30 persen potensi perikanan nasional, tetapi masyarakatnya tak merasakan dampak nyata akibat aturan transhipment yang membuat hasil tangkapan langsung dialihkan di laut tanpa singgah ke daratan.
“Pertumbuhan ekonomi eksklusif seperti ini hanya memberi manfaat bagi pihak luar. Yang kami butuhkan pertumbuhan inklusif yang benar-benar dirasakan masyarakat,” kata Lewerissa penuh penekanan.
Lewat forum yang mengangkat tema “Mendorong Pertumbuhan Ekonomi melalui Penguatan Sinergi Pusat dan Daerah dalam Mendukung Program Asta Cita”, Gubernur Maluku menutup pernyataannya dengan seruan kepada pemerintah pusat untuk mengkaji ulang kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada daerah.
“Kebijakan yang tidak pro-daerah harus dievaluasi bahkan direvisi. Kami ingin membangun ekonomi, tapi jika kewenangan terus dicabut, itu sama saja mengamputasi upaya kami,” pungkasnya.
Suara lantang ini menjadi pengingat bahwa di balik angka pertumbuhan ekonomi nasional, masih ada paradoks: daerah kaya sumber daya alam, tapi miskin kewenangan untuk mengelolanya.(PM.007)
Belum Ada Komentar